Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.
ARSITEKTUR SADAR LINGKUNGAN
Agenda kajian tipologi
Jika kita kembali ke kajian arsitektur, pada akhirnya terfokuslah sebuah pertanyaan: bagaimanakah dengan tipologi yang tepat, kita menemukan, menumbuhkan, dan mengembangkan benih kesemestaan pada mozaik lahan lokalitas Nusantara nan luas, dengan masing-masing trayektori kesejarahan yang sangat majemuk itu? Demikian itulah kerumitan menyusun tipologi Arsitektur Nusantara. Karenanya, kajian Arsitektur Nusantara mustahil dikerjakan tanpa jalinan keakraban intelektual dari kita. Dalam tujuan tersebut, kami mengharap web ini menjadi wahana komunikasi para putera negeri yang berbakat dan berminat dalam arsitektur, bukan melulu kaum akademisinya saja.
Salah satu kehidupan dasar manusia adalah papan (rumah) disamping sandang dan pangan. Pemuasan kebutuhan dasar di bidang arsitektur sebaiknta dilaksanakan dengan pembangunan yang sehat dan ekologis, menurut Rudolf Doernach merupakan ‘bangunan hidup’ dan bukan dengan pembangunan teknis saja yang menantang kehidupan yang menurut Rudolf Doernach adalah ‘bangunan mati’.
Arsitektur yang sadar lingkungan adalah bidang keilmuan yang mempengaruhi usaha terhadap kelanjutan, keselarasan ekologi, dan kegiatan manusia yaitu.
Contohnya adalah arsitektur nusantara. Arsitektur Nusantara merupakan suatu paduan keselarasan antara manusia dan lingkungannya. Berikut saya mengutip salah satu tulisan di 4archiculture.
Kita perlu paradigma baru, untuk mengurangi timbulnya segmentasi sosial. Berbagai macam pendekatan dapat dilakukan, sejak dari pendekatan historis, arsitektonik sampai pendekatan antropologis. Semuanya sah, karena semua dapat bermanfaat. Tetapi Indonesia membutuhkan kategorisasi yang sesuai dengan tuntutan mempertahankan kesatuan kebudayaannya. Kita memerlukan politik keilmuan yang tepat. Yang bagaimana?
Pendekatan budaya
Pendekatan etnografis dalam arsitektur (menurut etnis, seperti Jawa Sunda, Bali, dan seterusnya) yang populer di masa lalu, bisa saja memperuncing sukuisme. Pendekatan historis pun bukan tanpa resiko. Pemilahan periode seperti arsitektur Hindu, Budha, dan Islam atau muslim secara sangat halus bisa saja mengkotak-kotakkan pengamat (dan mereka yang mempelajari arsitektur) pada latar belakang sosio-historis-keyajinan-agama yang berbeda-beda: aku muslim, jadi aku mementingkan belajar Arsitektur Islam di Indonesia; aku kristian, jadi aku hanya peduli pada Arsitektur Kolonial? Dengan cara pandang dan fanatisme yang sama, istilah arsitektur “Cina Perantauan” pun dapat saja beresiko menimbulkan kotak segmentasi sosial yang lebih kecil lagi. Betapa berbahayanya keterpecahan bangsa ini. Kekuatan asinglah yang akan menangguk keuntungan terbesar, pada akhirnya. Bangsa ini telah nyaris terpecah-belah. Akankah masa lalu dan keadaan arsitekturnya di masa kini dipakai untuk mempertajam kepingan-kepingan keterpecahan sosial itu? Betapa makin sulitnya mempertahankan kesatuan bangsa yang justru kita perlukan untuk masa depan!
Maka lebih bijak bila kita memakai tipologi yang disusun dengan tujuan memaparkan karakter paling khas sekaligs yang dapat memperbaiki karakter bangsa dari tiap kelompok kebudayaan-peradaban. Tentu termasuk kekhasan sifat-keadaan alamnya. Hal itu pun tak mudah, karena harus dikerjakan sambil mengurutkan perkembangan tiap kategori secara historis dan sekaligus menempatkannya pada geografi yang sangat luas dan berkemajemukan tinggi pula. Arsitektur Nusantara dapat kita pilah menurut ciri peradaban dan kebudayaan masyarakatnya. Dalam hal ini arsitektur rakyat di Nusantara dilihat sebagai satu kesatuan peradaban dari unsur-unsur kebudayaan, nilai-nilai, dan sifat-sifat luhur budaya bangsa yang diwariskan secara turun temurun di seluruh ruang budaya Nusantara, sebagai berikut:
Pendekatan etnografis dalam arsitektur (menurut etnis, seperti Jawa Sunda, Bali, dan seterusnya) yang populer di masa lalu, bisa saja memperuncing sukuisme. Pendekatan historis pun bukan tanpa resiko. Pemilahan periode seperti arsitektur Hindu, Budha, dan Islam atau muslim secara sangat halus bisa saja mengkotak-kotakkan pengamat (dan mereka yang mempelajari arsitektur) pada latar belakang sosio-historis-keyajinan-agama yang berbeda-beda: aku muslim, jadi aku mementingkan belajar Arsitektur Islam di Indonesia; aku kristian, jadi aku hanya peduli pada Arsitektur Kolonial? Dengan cara pandang dan fanatisme yang sama, istilah arsitektur “Cina Perantauan” pun dapat saja beresiko menimbulkan kotak segmentasi sosial yang lebih kecil lagi. Betapa berbahayanya keterpecahan bangsa ini. Kekuatan asinglah yang akan menangguk keuntungan terbesar, pada akhirnya. Bangsa ini telah nyaris terpecah-belah. Akankah masa lalu dan keadaan arsitekturnya di masa kini dipakai untuk mempertajam kepingan-kepingan keterpecahan sosial itu? Betapa makin sulitnya mempertahankan kesatuan bangsa yang justru kita perlukan untuk masa depan!
Maka lebih bijak bila kita memakai tipologi yang disusun dengan tujuan memaparkan karakter paling khas sekaligs yang dapat memperbaiki karakter bangsa dari tiap kelompok kebudayaan-peradaban. Tentu termasuk kekhasan sifat-keadaan alamnya. Hal itu pun tak mudah, karena harus dikerjakan sambil mengurutkan perkembangan tiap kategori secara historis dan sekaligus menempatkannya pada geografi yang sangat luas dan berkemajemukan tinggi pula. Arsitektur Nusantara dapat kita pilah menurut ciri peradaban dan kebudayaan masyarakatnya. Dalam hal ini arsitektur rakyat di Nusantara dilihat sebagai satu kesatuan peradaban dari unsur-unsur kebudayaan, nilai-nilai, dan sifat-sifat luhur budaya bangsa yang diwariskan secara turun temurun di seluruh ruang budaya Nusantara, sebagai berikut:
- Keperkasaan Penerus Tradisi Batu Besar (misalnya Sumba)
- Kewaspadaan Pelestari Hutan (misalnya Mentawai)
- Ketekunan Penggalang Pertanian (pertanian dataran rendah dan yang di dataran tinggi seperti Kintamani)
- Keterbukaan Penjalin Pesisir (misalnya Madura).
Politik kebudayaan dalam arsitektur
Tipologi budaya di atas itu memang normatif, bahkan seolah-olah hanya hendak kembali ke romantisme masa lalu. Tetapi lebih dari sekedar mempelajari arsitektur dari kacamata materialisme pattern atau form language dalam kajian arsitektur yang sangat (atau bahkan terlalu) spesifik, maka sebenarnya di balik kategorisasi itu ada muatan politik kebudayaan, atau dalam istilah almarhum Clifford Geertz: politik makna. Tipologi itu, sejak dari buku "Merah-Putih Arsitektur Nusantara" (2006) terus terang saya susun berdasarkan pada suatu tujuan langkah kebudayaan: menjaga kelestarian Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah identitas, atau ruang kultural. Bahasa Gus Dur bisa jadi lebih singkat: NKRI, harga mati! Dalam istilah Mpu Tantular: bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa (berbeda-beda namun satu, tak ada sikap-perbuatan [dharma] yang mendua; satu upaya bahu membahu untuk tujuan yang diyakini bersama kebaikannya). Bisa jadi, tujuan tadi terlalu subtil atau samar untuk ditangkap yang biasa hanya mempelajari aspek materi arsitektur, sehingga dalam suatu acara bedah buku "Merah-Putih" di atas, ada seorang pembahas yang melihat bagian kajian tipologi dalam buku tersebut tidak berhubungan dengan bagian kajian filosofi di depannya. Padahal, paradigma atas sesuatu, pasti berlandaskan sebuah bidang-pijak filosofis.
Jadi, marilah kita renungi, bahwa tidak jarang, masing-masing disiplin ilmu perlu memperluas cakrawala epistemologinya. Tambahan lagi, bila bukan putera negerinya sendiri yang menjaga, siapa yang hendak mempertahankan kesatuan bangsa ini? Bagi yang berpandangan tajam, sangat jelas bahwa bangsa dan negeri ini nyaris tercabik-cabik untuk kemudian lebih mudah dijarah kekayaan alam dan potensi manusianya.
Jadi, marilah kita renungi, bahwa tidak jarang, masing-masing disiplin ilmu perlu memperluas cakrawala epistemologinya. Tambahan lagi, bila bukan putera negerinya sendiri yang menjaga, siapa yang hendak mempertahankan kesatuan bangsa ini? Bagi yang berpandangan tajam, sangat jelas bahwa bangsa dan negeri ini nyaris tercabik-cabik untuk kemudian lebih mudah dijarah kekayaan alam dan potensi manusianya.
Siapakah putera negeri ini?
Di suatu pertemuan akademik universitas swasta (yang kebetulan mayoritas mahasiswanya adalah keturunan Tionghoa), saya pernah menyampaikan satu hal yang bagi saya penting. Siapakah yang "asli" Nusantara? Apakah yang sekedar berkulit gelap sawo matang? Siapa yang dapat menjamin "keaslian geneakologisnya"? Di Nusantara, kita semua "pendatang". Mungkin nenek dari nenek moyang kita adalah migran dari Dongson, atau bagian lain Asia Tenggara daratan. Jadi, sangatlah tidak tepat mempersoalkan asal-usul keturunan, atau bahkan lebih parah lagi, ras. Lebih bermanfaat ialah mempertanyakan: siapakah putera negeri ini? Jawabnya, mereka yang penuh kepedulian pada kelangsungan hidup, penghidupan, dan kehidupan masyarakat negeri dan alam di tanah-air Indonesia tercinta ini. Kepedulian itu menuntut bukti ia ikut andil dengan segala potensi dan daya-kemampuan yang ada padanya, untuk terus-menerus memperbaiki keadaan Indonesia. Baginya, bila keadaan hari ini sama dengan kemarin, itu sudah suatu pertanda kemunduruan. Bila bukan tergolong putera negeri, maka pastikanlah ia sekedar benalu yang menumpang hidup pada pepohonan renta tanah ibu pertiwi ini. Ada benalu-egois pencari nafkah dan jaminan pensiun di hari tua, ada benalu-oportunis pengumpul harta dan kekuasaan tahta dengan segala cara, ada pula benalu-pengemis kertas atau medali prestasi dan prestise bagi nafsu-dirinya! Kita tidak memerlukan "boemi poetera asli Indonesia". Kita memerlukan putera negeri yang penuh daya juang mengentaskan Indonesia dari segala keterpurukan. Dalam bidang arsitektur, untuk ikut mengentaskan kehidupan Indonesia dari keterpurukan budaya (dalam arti mentalitas, bukan seni).
Jika kita kembali ke kajian arsitektur, pada akhirnya terfokuslah sebuah pertanyaan: bagaimanakah dengan tipologi yang tepat, kita menemukan, menumbuhkan, dan mengembangkan benih kesemestaan pada mozaik lahan lokalitas Nusantara nan luas, dengan masing-masing trayektori kesejarahan yang sangat majemuk itu? Demikian itulah kerumitan menyusun tipologi Arsitektur Nusantara. Karenanya, kajian Arsitektur Nusantara mustahil dikerjakan tanpa jalinan keakraban intelektual dari kita. Dalam tujuan tersebut, kami mengharap web ini menjadi wahana komunikasi para putera negeri yang berbakat dan berminat dalam arsitektur, bukan melulu kaum akademisinya saja.
surce : 1
0 komentar:
Posting Komentar
1.Tidak Menggunakan Bahasa Yang Kasar
2.Tidak Mencantumkan Link Aktif
3.Tidak Boleh Meremehkan Artikel
4.Silahkan Berkomentar Jika Bingung
5.Silahkan Berkomentar Jika Ada Yang Gagal
6.Silahkan Berkomentar Jika Ada Yang Rusak
7.Silahkan Berkomentar Jika Ingin Berterimakasih
Jika Tidak Mematuhi Peraturan Akan Dianggap Spam!